Kisah Motivasi Untuk Pelajar
Posted: Rabu, 29 Januari 2014 by Unknown in
0
Si
Bodoh Yang Mencabik Buku Pelajarannya
Karya : Arul Chandrana
Karya : Arul Chandrana
Dia seorang anak dari keluarga kuli
kasar bergaji rendah. Masa kerja yang sudah melampaui angka dua puluh tahun
sama sekali tidak menambah jumlah gajinya. Ayahnya bekerja di salah satu gudang
bulog beberapa kilometer di luar desa. Bukan sebagai satpam atau sopir truk.
Apalagi sebagai pencatat keluar masuknya barang atau bagian keuangan. Melainkan
sebagai pengangkut karung-karung beras raksasa dari truk-truk tua ke dalam
gudang pengap lagi panas tersebut. Dia sudah bekerja seperti itu sejak memasuki
usia SMA. Dia tidak sekolah SMP, juga tidak tamat SD. Semenjak memulai kerja
sebagai buruh bulog, hidup dan harapannya ditumpahkan pada panen para petani di
sawah-sawah nun jauh di sana dan berlanjut sampai sekarang dia beristri dan
beranak. Anak yang mulai sekolah SMP.
Istrinya
bekerja di tempat penyelepan beras. Dan, sama seperti suaminya, dia mulai
bekerja di sana semenjak memasuki usia SMA. Tidak pernah memasuki SMP dan
beruntung karena berhasil menamatkan SD. Dia pun menggantungkan kehidupannya
pada panen para petani yang sawahnya membentang luas tak jauh dari tempat
kerjanya.
Bekerja
sebagai buruh di gudang yang sama sekali tidak menuntutnya untuk membaca
apapun, ternyata tak mencegah sang bapak untuk mempelajari sesuatu. Pastinya
itu bukan matematika, bukan pula kimia atau fisika, apalagi Bahasa Inggris.
Bahkan Bahasa Indonesia pun tidak. Dia tidak mempelajari semua itu, lebih
tepatnya dia tidak berinteraksi dengan semua itu, dia hanya berurusan dengan
tulang, otot dan beban. Yang ketika ketiganya disatukan maka terciptalah
keringat dan kelelahan. Nah, satu hal yang telah dipelajari dengan baik oleh
bapak tersebut adalah bahwa orang-orang yang kerjanya ringan tapi bergaji besar
di lingkungan gudang itu adalah orang-orang yang sekolahnya sampai tamat SMA kemudian
melanjutkan kuliah. Itulah yang dia sangat pahami dan yakini. Oleh karena itu,
bersama istrnya, bapak tersebut membuat kesepakatan untuk mencurahkan seluruh
tenaga dan uang mereka guna membiayai sekolah anaknya. Mereka tidak menabung
untuk membeli televisi atau furnitur. Lemari pun cuma satu dan tidak pernah
bertambah. Cat rumah tidak diperbarui. Perabotan dapur berbahan seng dan
plastik. Mereka melakukan semua itu dengan sebuah perhitungan yang cermat dan
matang.
Untuk
memiliki sebuah pesawat telivisi sungguh bukanlah sesuatu yang teramat sulit.
Menabung selama lima bulan atau lebih sedikit pastilah cukup untuk membeli
televisi ukuran 120, tapi sang bapak punya perhitungan yang jauh melebihi itu.
Untuk sekedar membeli tv mereka hanya perlu mengeluarkan banyak uang sekali
saja. Tapi nanti, setelah tv itu dipasang di rumah dan disetel pada tiap
kesempatan senggang, ia akan terus-terusan mengeruk uang mereka karena beban
listrik yang bertambah. Maka televisi akan selalu menghabiskan uang yang susah
payah mereka kumpulkan dengan sia-sia. Televisi adalah peti kotak yang
berbahaya dan mengancam bagi cita-cita sebuah keluarga.
Membeli
lemari baru pun bukanlah sesuatu yang terlalu berat. Menabung selama setahun
atau lebih sedikit pastinya cukup untuk membeli sebuah lemari baru dengan bahan
kayu tak terlalu jelek. Tapi bapak punya pertimbangan cerdas untuk memutuskan
tidak membeli lemari baru. Jika kita beli lemari baru, Bu, katanya, kita tidak
hanya akan mengeluarkan banyak uang sekali. Tapi setelah itu, kita akan selalu
dipaksa untuk mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Lemari baru yang kosong akan
menuntut untuk diisi. Lemari itu akan membuat kita membuang-buang uang untuk
beli pakaian, beli kain, beli barang-barang yang tak pernah dipakai. Itu semua
belanja yang tidak ada gunanya. Begitu pula dengan cat rumah yang baru. Nabi
tidak memerintah kita untuk ngecat rumah, kan? Tapi beliau memerintah kita
untuk menjaga kebersihannya. Kalau kita bisa menjaga rumah kita tetap bersih
maka itu sudah cukup, Bu. Dengan demikian, istrinya pun tak pernah lagi
memikirkan baju baru.
Tentang
mengapa tak ada satupun perabotan dapur yang terbuat dari kaca atau porselen,
alasannya karena baik porselen maupun kaca bisa pecah, piring kaca kemungkinan
besar tak akan bertahan melebihi lima tahun. Dan setiap kali ada yang pecah
maka mereka harus membeli yang baru. Itu perbuatan yang sangat boros. Tanpa
perlu dijelaskan, kedua pasangan suami isteri itu bersepakat untuk memakai
perabot dari logam dan plastik. Piring plastik tidak akan pecah walau jatuh
sepuluh kali dalam sehari. Gelas besi hanya akan penyok jika jatuh terlontar
dari tangan. Maka jadilah rumah pasangan suami isteri itu begitu sederhana dan
bersahaja. Lantas untuk apa semua uang yang mereka dapatkan dari membanting tulang
di gudang bulog dan tempat penyelepan padi?
Untuk
biaya sekolah anaknya yang kini memasuki kelas 7 SMP. Pasangan suami isteri itu
sangat perduli pada pendidikian anak semata wayang mereka. Karena setelah
puluhan tahun dihabiskan bekerja di gudang bulog, sang ayah berhasil mengambil
satu pelajaran penting yang mengubah seluruh pandangannya tentang kehidupan:
bahwa orang-orang yang kerjanya ringan dan bergaji besar di gudang bulog adalah
orang-orang yang sekolahnya lulus SMP dan SMA kemudian melanjutkan kuliah dan
jadi jadi sarjana. Itulah ilmu terbaik yang berhasil dia dapatkan dari gudang
kesakitan dan kelelahan itu. Dan ketika dia menyampaikan penemuannya tadi pada
isterinya yang lugu, perempuan taat itu pun mengiyakan dan mendukung semua
keputusan suaminya berkenaan pendidikan anaknya. Pasangan suami isteri itu pun
bersepakat memfokuskan semua uang yang mereka dapatkan untuk kepentingan
pendidikan anaknya. Agar dia bisa masuk SMP, agar dia bisa lulus SMA, agar
nanti bisa kuliah, agar nanti saat dewasa dia tidak lagi menjadi kuli seperti
mereka, agar dia hanya duduk saja di samping kipas angin berputar mencatati
karung-karung beras yang masuk dan pulang dengan gaji besar. Itulah harapan
kedua orang tua yang bersahaja itu.
Anaknya
yang penurut itu paham sekali mengenai harapan dan cita-cita orang tuanya. Dia
sudah menyaksikan bagaimana penderitaan dan kesusahan mereka. Bagaimana
pekerjaan berat menuakan mereka lebih cepat dari yang bisa dilakukan waktu.
Walau belum baligh, dia benar-benar memahami apa artinya hidup kekurangan dan
penuh keterbatasan. Dia selalu mendengarkan petuah orang tuanya dengan tekun
tentang pentingnya sekolah dan dia pun meyakini bahwa dirinya haram menjadi
kuli, meneruskan penderitaan tujuh turunan yang diwarisi bapak ibunya. Anak itu
demikian mengerti semua harapan ibu bapaknya dan demikian bekerja keras untuk
menjadi buah hati yang mewujudkan harapan bahagia mereka. Dia anak yang bekerja
keras di sekolah seperti kedua orang tuanya bekerja keras di gudang dan
penggilingan. Dia tak kenal lelah dalam belajar di kelas maupun di rumah
sebagaimana kedua orang tuanya tak kenal lelah bekerja di waktu kemarau atau
hujan. Semenjak kelas empat SD sampai masuk SMP, nilai anak itu selalu di bawah
65. Seperti kedua orang tuanya yang gajinya tak pernah di atas tiga ratus ribu.
Sayang
sekali, anak itu bukanlah dari jenis yang mampu membuat orang tua bermimpi
indah dengan meletakkan harapan di tangan anaknya. Dia bukanlah anak dari jenis
yang membuat para orang tua bangga menempel hasil ulangannya yang 100 plus di
ruang tamu agar dibaca semua tamu yang berkunjung. Dia bukan jenis anak untuk
diceritakan kepada teman-teman kerja karena mendapat hadiah dari guru atas
prestasi gemilangnya.
Mengapa?
Apakah dia kurang bekerja keras? Masih lebih banyak bermain dari pada belajar?
Tidak. Bukan seperti itu. Dia sudah bekerja keras. Sangat keras bahkan. Dia
selalu belajar, dia tidak pernah melewatkan malam dengan bermain-main dan
meninggalkan buku pelajarannya sendirian. Dia tidak melemparkan bukunya karena
film kartun jepang sudah mulai tayang. Anda tentu masih ingat di rumahnya tidak
ada televisi. Dia telah memulai hidup sebagai siswa yang tekun belajar sejak
kelas empat SD sampai sekarang memasuki bangku kelas 7 SMP. Dan nilai-nilai
ulangannya masih saja di bawah 65.
Sewaktu
duduk di bangku kelas empat SD, dia di luar lingkaran sepuluh besar. Kelas
lima, dia menduduki urutan ke lima belas. Memasuki kelas enam, dia hampir saja
tidak lulus. Dan, bagaimana dia bisa masuk ke SMP adalah karena sekolah
tersebut sedang sangat membutuhkan murid. Siapapun akan diterima oleh kepala
sekolahnya asal dia masih bernyawa dan bisa duduk di bangku kelas. Anak itu
memenuhi kedua syarat utama tersebut.
Setiap
kali usai ulangan, bahkan setiap hari sepulang sekolah, pada malam hari ke dua
orang tuanya akan mengecek hasil ulangan dan buku-buku pelajarannya serta
mengatakan beberapa hal. Momen paling menakutkan bagi anak itu adalah ketika
mereka mengecek hasil ulangannya. Di situ, pada lembar kertas pengukur
kepintaran tersebut, hampir selalu akan tertera angka 50, atau 45, atau 40,
lebih sering 30, dengan tinta merah. Dan dia hanya bisa tertunduk diam setiap
kali ibu bapaknya mengamati angka-angka merah tersebut. Kemudian dia akan
menjadi sangat marah pada dirinya sendiri karena kedua orang tuanya tidak
pernah marah gara-gara nilai ulangannya.
Mereka
hanya diam. Sama seperti dirinya. Mereka tidak bertanya dengan gaya pura-pura
bodoh tapi menyindir sebagaimana dilakukan banyak ornag tua lainnya, Nak, apa
ini? Angka apa ini? Melainkan mereka hanya menatapnya di wajah tak lebih
dari lima detik, kemudian, seperti yang selalu mereka lakukan, sang ibu akan
mengelus rambutnya, sang bapak akan mulai bicara. Sekali lagi bercerita bahwa
menjadi kuli itu susah. Menceritakan bahwa mereka tidak membeli banyak barang
karena ingin selalu bisa membayar uang sekolahnya.
Mencurahkan
impian bahwa dia suatu hari nanti akan menjadi pria sukses yang bekerja mudah
tapi gaji melimpah. Setelah itu, sama sekali tanpa menyinggung hasil ulangan
hari itu, kedua orang tuanya akan pergi ke kamar dan tidur. Membanting diri
dalam kelelahan sepanjang hari. Dan bocah itu akan mengutuki dirinya dan
kebodohannya. Dia benci semua tentang dirinya. Dia sangat benci. Dan betapa
orang tuanya memaafkan semua kegagalannya benar-benar membuatnya semakin
terdorong atau mungkin tertekan untuk memperbaiki nilai-nilai ulangannya.
Ketika
dia diterima masuk SMP, orang tuanya tentu sangat bahagia, dia pun demikian,
salah satu pintu gerbang menuju kesuksesan masa depan telah berhasil dimasuki.
Tapi justru di situlah bencana itu lebih banyak menimpanya. Pelajaran di SMP
benar-benar berbeda dengan semua yang biasa dia temukan di SD. Dia menemukan
Bahasa Inggris yang benar-benar berdiri di luar pemahamannya. Dia juga
bolak-balik menemukan kata interpretasi, apresiasi, efisiensi dalam buku Bahasa
Indonesia yang sama sekali tak dia mengerti artinya.
Dia
pun tak bisa apa-apa setiap kali gurunya memberi tugas mencari contoh konflik
internaisonal, rekonsiliasi antar masyarakat, atau bencana alam di luar negeri
karena dia tak pernah menonton apapun di rumahnya. Dia benar-benar merasa
seperti ikan yang diseret ke daratan dan dipaksa untuk berenang mengelilingi
pulau gersang. Kenyataan itu mendesaknya untuk belajar tiga kali lebih rajin
dan giat dari pada sewaktu di SD hanya untuk mendapatkan nilai 30 setiap
ulangan Bahasa Inggris, 45 pada ulangan Bahasa Indonesia, dan berkali-kali 0
besar untuk matematika.
Sekali
waktu, dia pernah menyalahkan kedua orang tuanya atas kebebalan otaknya. Sejak
kecil dia tak pernah diajari dengan baik dan benar oleh mereka. Kedua orang
tuanya tak punya apa-apa untuk disampaikan selain cerita capeknya bekerja dan
capeknya bekerja dan lagi-lagi capeknya bekerja. Orang tuanya tidak bisa
mengajarinya berhitung, atau menghapal kata-kata asing, tidak juga mereka
menyediakan televisi agar dia bisa melihat apa yang terjadi jauh di luar
negeri. Maka malam itu, di depan halaman buku-bukunya yang terbuka lebar, dia
menjadi demikian marah kepada kedua orang tua yang selalu mengharapakan dan
mempercayainya selama ini. Akan tetapi, pada saat kemasygulannya memuncak, urat
lehernya mengeras, cengkeraman tangannya menikam, begitu dia mendengar suara
dengkur bapak ibunya yang bergetar, lalu suara kibasan kipas anyaman bambu,
disusul kemudian pukulan keras di kaki untuk mengusir nyamuk, dia pun teringat
lagi betapa sudah susah payah ibu bapak yang tak sekolah itu untuk mengasuh,
merawat dan mensekolahkannya. Mereka tak sempat untuk mendidiknya dengan layak
karena keterbatasan tenaga dan ilmu, oleh karena itu mereka mati-matian
berusaha agar dia tetap sekolah sebagai pengganti pendidikan yang harusnya dia
dapatkan di rumah. Dia masih kelas tujuh waktu itu, tapi dia sudah memahami
situasi berat di rumahnya. Maka malam itu pun dia menangis. Menangisi orang
tuanya yang melarat dari kecil sampai tua, menangisi kebebalan otaknya sehinga
harus selalu mengecewakan setiap harapan. Dia menangisi semua aitu.
Kemudian
sampailah saat ujian kenaikan kelas. Bocah itu lebih-lebih lagi bekerja keras,
membaca ulang buku pelajaran dan berusaha mengerjakan PR-PR yang dia dapatkan.
Orang tuanya sangat terkesan mendapati kegigihannya itu. Bapaknya pun berbisik
pada isterinya, bagaimana kalau kita belikan susu agar anak kita tambah cerdas,
biar dia naik kelas dan nilainya bagus? Maka setiap malam, sebelum sang ibu
tidur, ketika bocah itu sudah mulai membaca buku pelajarannya untuk ujian esok
hari, segelas susu hangat akan sudah tersedia di mejanya. Dia tersenyum senang,
segera meneguknya, mendengarkan ibunya melangkah masuk ke dalam kamar, lalu dia
pun melanjutkan belajar. Membaca dengan semangat dan percaya diri. Maka dia pun
naik kelas, dengan nilai paling rendah di antara semua siswa. Harusnya dia tak
naik kelas, tapi karena pertimbangan syarat jumlah murid dalam satu kelas untuk
mendapatkan bantuan pemerintah, dia pun dinaikkan. Menghadapi hasil ujian yang
terpuruk seperti itu, seperti biasa, orang tuanya tidak memarahinya, tapi
bercerita tentang lulus SMA dan jadi sarjana. Malam harinya, bocah itu menangis
di bawah bantal kumal.
Duduk
di kelas delapan, keadaan tidak mengubah segala sesuatunya menjadi lebih baik.
Suatu malam, ketika dia sedang mengerjakan PR yang harus dikumpulkan besok,
ketika kedua orang tuanya sudah tidur istirahat, otaknya mampat
semampat-mampatnya. Dia putus asa untuk mengerjakan matematika, dia pun pindah
menekuni PR IPA, tapi tidak ada yang membaik. Dia pun menutup buku IPA dan
beralih berusaha menerjemahkan bacaan Bahasa Inggris yang ditugaskan. Dia
berhasil menerjemahkan perkata dengan bantuan kamus tua tapi hasilnya hanyalah
susunan kata acak-kadut yang tak bisa dimengerti maksudnya bahkan oleh dirinya.
Dia
menghela nafas dalam. Menutup mata dan bersiap menaruh pulpen ke kotaknya.
Dengkur orang tuanya yang kelelahan tersampai ke telinganya. Dia pun mengambil
lagi buku matematika, menggenggam pulpen dengan erat. Dia amati di sana
bertengger angka-angka luar biasa menyakitkan kepala. Dia tutup lagi buku
tersebut. Lalu segera mengambil IPA tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk
menemukan kombinasi unsur-unsur pembentuk materi yang ditugaskan. Dia pun
berpindah ke Bahasa Inggris dan hanya mendapatkan kejengkelan yang semakin
memuncak. Malam itu, untuk pertama kalinya, kesabarannya habis.
Dia
mengumpat. Memaki. Meludah ke tanah. Menyumpahi buku-buku pelajarannya.
Diambilnya buku matematika dan dicabik-cabiknya tanpa ampun. Pelajaran sialan!
Teriaknya dengan suara tertahan. Lalu diambilnya buku IPA dan Bahasa Inggris.
Dirobeknya kedua buku tersebut sampai menjadi cabikan kecil. Kemudian
dilemparkannya semua buku itu ke sudut rumah dengan kebencian menggelora. Tak
terasa, air matanya meleler menggenangi pipi. Dia membenci semua hasil
ulangannya. Terlebih lagi, dia membenci dirinya, membenci mengapa hanya untuk
sedikit lebih baik dalam memahami pelajaran saja tidak bisa. Dia berharap agar
orang tuanya memarahinya. Dia berharap agar bapaknya memukulinya, atau agar
ibunya mencercanya. Membuat punggungnya bilur-bilur. Menjadikannya bahan ejekan
tetangga. Dengan demikian dia akan merasa telah membayar semua kesalahan. Tapi
orang tuanya terus menyayanginya, terus menyampaikan harapannya, terus
menceritakan cita-citanya. Orang tuanya tidak pernah berhenti percaya dan
berharap padanya. Itulah yang semakin membuatnya membenci dirinya.
Lambat
laun, setelah tangis sesenggukannya reda, pikirannya kembali tenang, dia pun
mendengar lagi suara pukulan-pukulan ringan tangan orang tuanya mengusir
nyamuk. Di rumah itu hanya ada satu obat nyamuk bakar menyala, yaitu di dekat
mejanya agar dia tidak terganggu saat belajar. Orang tuanya membiarkan diri
mereka dimakan nyamuk setiap malam, tapi mereka tak pernah rela anaknya
diganggu nyamuk saat belajar. Bocah itu pun kini gundah, dia baru saja
merobek-robek bukunya. Dia tak bisa lagi belajar.
Pikiran-pikiran
menakutkan kini menghantuinya. Orang tuanya menyekolahkan dirinya, membuatkan
susu hangat saat ujian, menyediakan obat nyamuk saat belajar malam, bukanlah
agar ia dengan tolol merobek-robek buku pelajaran. Dia pun panik. Segera dia
turun dari kursinya, mencakup semua robekan kertas buku pelajarannya dan
membawanya kebelakang rumah. Di sana, dia bakar tiga buku pelajaran itu.
Kilatan api yang kuning menyala menari-nari di wajahnya. Dia menunggu sampai
sobekan-sobekan itu hancur menjadi abu. Tak cukup hanya itu, dia menaburkan abu
tersebut ke sekitar. Dia tak ingin orang tuanya tahu bahwa dia baru saja
menghancurkan impian mereka. Walaupun itu hanya terjadi tak lebh dari lima
belas menit, dia tak ingin orang tuanya tahu betapa anak kebanggaannya sangat
mudah menyerah. Karena dia tahu sungguh menyaktikan hal itu bagi mereka berdua.
Setelah
semua bersih, dia segera kembali ke kamarnya dan tidak meneruskan belajar. Dia
ambil celengannya dan mengorek sejumlah uang cukup untuk membeli tiga buah
buku. Esok harinya, dia berangkat ke sekolah lebih awal dan berusaha sesedikit
mungkin menatap wajah orang tuanya, khususnya mata mereka. Walau mereka tak
tahu apa yang telah terjadi semalam, walau tak ada satu orang pun yang memberi
tahu mereka, tapi menatap mata kedua orang tuanya seakan bisa membongkar semua
kejahatan yang dia sembunyikan. Hari itu dia tiga kali dihukum karena tidak
mengumpulkan tiga PR. Dia bisa menerima semuanya. Dan sebelum pulang setelah
jam pelajaran usai, dia meminjam buku matematika, IPA dan Bahasa Inggris pada
temannya. Bocah itu telah memutuskan untuk membayar semua kesalahan yang telah
dia buat. Dia akan menyalin semua pelajaran mulai dari semester pertama sampai
semester ke dua.
Sesampainya
di rumah, tidak dia tunjukkan buku-buku tersebut pada orang tuanya. Tentu saja.
Dia bilang kalau ke tiga buku itu dikumpukan kepada guru maisng-masing. Walau
pun hari itu terasa canggung dan tak nyaman tapi dia bisa melaluinya dengan
baik. Sampai akhirnya malam tiba dan jam belajarnya datang. Malam itu dia tidak
membaca buku seperti biasanya, tapi menyalin buku temannya mulai dari halaman
pertama sampai akhir. Dan, keajaiban itu pun terjadi. Inilah momen yang biasa
kita sebut sebagai detik ketika doa terjawab dan dikabulkan. Malam yang penuh
mukjizat.
Sementara
dia menyalin, dia terkejut dengan kenyataan bahwa dia kini mulai memahami satu
persatu apa-apa yang telah diajarkan gurunya yang sebelumnya tidak dia pahami,
yang tadinya dia lupakan, yang tadinya tak dia mengerti sama sekali. Tiba-tiba
semua itu menjadi demikian jelas dan terang. Dia pun semakin semangat menyalin.
Terkadang dia menebak apa kira-kira yang akan dia temukan pada kalimat
berikutya dan ternyata dia benar. Gairahnya meningkat demikian pesat
sampai-sampai dia tidak sadar sudah hampir empat jam dia habiskan menyalin buku
IPA. Untuk pertama kalinya dia merasakan kepuasan dalam belajar. Dia sama
sekali tak merasakan lelah. Juga tak ada jenuh. Pun tak ada frustasi. Semua
yang dia lakukan malam itu terasa demikian mudah dan demikian mencerahkan.
Malam itu dia rampung menyalin IPA dan tidur dengan tekad akan menyalin buku
Bahasa Inggris besok malam hanya dalam semalam. Dan, itulah yang terjadi, esok
malamnya ketika dia menyalin pelajaran Bahasa Inggris, seperti sebuah keajaiban
yang ditaburkan dari langit, tiba-tiba dia menyadari semua hal yang membuatnya
tak paham selama ini, dia juga menemukan apa saja yang seharusnya dia pikirkan
agar dia mudah memahami bahasa internasional tersebut, rumus dan kosa kata
membombardir otaknya demikian cepat dan dia bisa menyerap semuanya. Bocah itu
kini bisa berdiri tegak di kelasnya.
Tak
terduga, guru dan teman-temannya dibikin kaget setengah mati ketika dia
mengacungkan tangan untuk menyelesaikan soal membuat kalimat Bahasa Inggris di
papan. Dia maju dan mengambil kapur yang dengan tak yakin diulurkan sang guru.
Di belakang, teman-temannya terkikik dan saling berbisik. Bocah itu dengan
tenang berdiri di depan soal. “Make a sentence using one subject and two
verbs”. Teman-temannya mulai tak sanggup menahan tawa. Gurunya geleng-geleng
kepala menduga bahwa untuk memahami pertanyaannya saja pasti dia tak bisa. Tapi
bocah itu maju satu langkah, kemudian, mulai menggoreskan kapur di tangannya.
Sejenak semua hening dan tak lepas menatap gerakan tangannya. Kemudian, di
papan hitam itu, tertulislah kalimat ini:
“I
wrote a sentence and read it loudly”
Guru
itu terdiam. Teman-temannya membaca dalam hati berulang-ulang. Mereka tak
percaya dengan yang mereka saksikan. Tapi kemudian, tepuk tangan membahana
ketika guru itu berteriak tak percaya: BENARRR!!! Kejutan pun dia pamerkan
dalam pelajaran IPA dan Matematika. Dia yang paling semangat mengacungkan
tangan ketika gurunya menanyakan apa saja contoh penyakit yang menular melalui
sentuhan. Dia juga sekali lagi maju saat guru matematikanya memberikan soal di
papan. Ketika guru-guru tersebut berkumpul di kantor, mereka membicarakan bocah
tersebut dengan antusiasme yang luar biasa. Terjerat antara heran dan terkesima
sementara guru lainnya penasaran dan tak percaya. Seorang guru IPS pun ingin
membuktikannya sendiri. Tapi dia kecewa, karena bocah itu tetap saja seperti
hari-hari sebelumnya. Dia tidak tahu apa-apa. Dengan agak menggerutu, guru IPS
itu mengira dia sedang dikerjai guru IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris bersama-sama.
Kenyataan
itu menjadi pencerahan terbaik dalam hidup bocah tersebut. Kini dia tahu apa
masalah yang dia hadapi sepanjang hidupnya ini. Kini dia tahu apa sebenarnya
yang membuatnya secara konsisten mendapatkan nilai di bawah 65. Sesungguhnya,
bukan dia yang bodoh, atau otaknya yang kelewat bebal, tapi gaya belajarnya
yang tak sesuai. Dia bukan tipe orang yang akan paham dengan mendengarkan
ceramah, dia juga tak akan paham jika harus terus membaca, dia malah akan
tambah bingung jika disuruh melakukan latihan yang panjang dan penuh angka berlekukan.
Dia pun akan melupakan apapun yang diminta untuk dihapalkan. Tapi dia akan
dengan mudah memahami dan mengingat apa saja yang harus dia pelajari dengan
menyalinnya. Semua tulisan temannya di buku yang ia pinjam, baik itu materi
pelajaran atau ulangan atau PR, dia salin ulang agar bisa memahaminya. Semua
mata pelajaran dia salin ulang. Dari kelas tujuh sampai kini kelas delapan.
Hasilnya, seperti yang aku yakin sudah kau duga, dia menjadi juara ke 4 ketika
naik ke kelas Sembilan.
Berikutnya,
dia lulus SMP sebagai salah satu lulusan terbaik di kabupatennya. Fotonya yang
bersalaman dengan bupati dijadikan spanduk dan dipampang di gerbang sekolahnya.
Orang tuanya menangis terharu ketika menyaksikan anak semata wayangnya itu naik
ke pentas guna menerima penghargaan dari kepala skeolah. Dia masuk SMA tanpa
membayar, beasiswa penuh sudah menunggunya bahkan beberapa SMA memintanya untuk
bersekolah di sana. Sejak semester dua kelas sepuluh sampai kelas dua belas,
dia selalu ranking satu. Dan dia termasuk lima terbaik lulusan SMA
se-provinsinya. Kini, melanjutkan kuliah sama sekali bukan impian kosong
baginya juga ke dua orang tuanya. Semua orang mengaguminya dan tiba-tiba merasa
begitu dekat dengannya. Mereka menyebut namanya seakan mengenalnya. Karena
dialah sang jagoan, anak miskin bodoh yang dengan mengagumkan telah membalik
dunia hingga berjumpalitan. Tapi mereka salah. Mereka tak tahu semua hal
tentang anak itu, mereka, kenyataannya, tak begitu mengenalnya, karena tak ada
satu pun yang tahu bahwa di buku tulisnya, selalu ada dua catatan mata
pelajaran yang sama. Satu dia tulis ketika duduk di kelas, satunya lagi dia
salin dari buku temannya di kamarnya pada malam hari.
Sebenarnya,
dia tidak selalu meminjam buku temannya untuk menyalin. Memasuki SMA dia mengmbangkan
tekniknya sendiri untuk menguatkan pemahaman dan ingatannya. Malam hari, dia
akan duduk dan mencoba mengingat semua kata-kata gurunya dan menyalin semua
yang dia ingat, kemudian mencocokkannya dengan catatan yang dia buat di kelas
dan menambahi bagian-bagian yang kurang.
Kini,
15 tahun telah berlalu semenjak peristiwa menyalin buku untuk pertama kalinya
itu, sang bocah telah menjadi pria dewasa dan menjabat sebagai CEO di sebuah
hotel internasional yang berada Indonesia. Bahasa Inggris yang dulunya sangat
asing baginya, kini dia fasih menggunakannya juga sedikit Bahasa Prancis yang
sangat membantunya dalam melayani para customer elite yang kebanyakan dari
Eropa dan Amerika. Sementara dia sibuk berkeliling dari ibu kota negara ke ibu
kota propinsi, kedua orang tuanya tinggal di desa asal mereka dan sibuk
beternak kambing. Bukannya dia menyingkirkan kedua orang yang berjasa itu,
tidak, tapi begitulah caranya berbakti: dengan memenuhi apapun keinginan mereka
tanpa memprotesnya sebagaimana mereka tak pernah memprotes nilainya yang jelek
dulu sewaktu masih SD dan SMP. Dia tak memaksa orang tuanya agar tinggal di
kota hanya agar mengukuhkan dirinya sebagai keluarga elit. Karena orang tuanya
sama sekali tak mengerti bagaimana harus hdup di kota serumit dan sesibuk
Jakarta. Dia tak memaksa keduanya untuk sekedar duduk di rumah mewah dan
menonton televisi karena mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah sederhana
sambil beternak kambing di kampung.
Sebagai
seorang pimpinan yang telah bertemu banyak orang penting dari seluruh benua,
dia telah berhasil mempelajari satu ilmu penting yang sangat-sangat berguna:
bahwa untuk membahagiakan orang tua tidak bisa dengan cara membawa mereka pada
seluruh kemewahan dunia, tapi hanya dengan memberikan apa saja yang mereka
minta agar bisa sibuk dan tak kesepian dalam hidupnya sehari-hari. Orang tuanya
memilih untuk beternak, maka itulah yang dia sediakan. Setiap ada liburan dia
akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan dengan tekun akan menyimak cerita
mereka bahwa keadaannya saat ini sudah mereka bayangkan jauh saat dia masih
kanak-kanak. Bagaimanapun, dia percaya pada cerita kedua orang tuanya itu
bahkan sebelum dia mengalaminya.
Satu hal yang dipelajarinya dari kisah hidunya sendiri adalah bahwa terkadang kita tampak bodoh bukannya karena kita memang bodoh, bukan pula karena otak kita yang lemah, atau karena kita tak memiliki orang tua yang cukup pintar untuk mengajari sejak kecil, bukan, tapi karena dua hal: kita kurang bekerja keras atau kita salah cara belajarnya. Ya, hanya dua itulah obat untuk kebodohan, bekerja keras (dalam belajar) serta belajar dengan cara yang benar. Kita kesulitan memahami suatu materi mungkin karena kita terlalu malas untuk mengulangnya lagi, atau, karena cara yang kita gunakan untuk menyerap materi tersebut tidak sesuai dengan cara yang dipakai otak kita. Maka, ketika kita sudah menemukan gaya belajar yang pas, dan kita tekun belajar dengan cara tersebut, sebuah lompatan prestasi quantum akan kita peragakan dengan memukau dan membanggakan.
Satu hal yang dipelajarinya dari kisah hidunya sendiri adalah bahwa terkadang kita tampak bodoh bukannya karena kita memang bodoh, bukan pula karena otak kita yang lemah, atau karena kita tak memiliki orang tua yang cukup pintar untuk mengajari sejak kecil, bukan, tapi karena dua hal: kita kurang bekerja keras atau kita salah cara belajarnya. Ya, hanya dua itulah obat untuk kebodohan, bekerja keras (dalam belajar) serta belajar dengan cara yang benar. Kita kesulitan memahami suatu materi mungkin karena kita terlalu malas untuk mengulangnya lagi, atau, karena cara yang kita gunakan untuk menyerap materi tersebut tidak sesuai dengan cara yang dipakai otak kita. Maka, ketika kita sudah menemukan gaya belajar yang pas, dan kita tekun belajar dengan cara tersebut, sebuah lompatan prestasi quantum akan kita peragakan dengan memukau dan membanggakan.
http://singgihajisasongko.blogspot.com/2012/12/cerita-penuh-motivasi-bagus-untuk.html#XZfExRgj8gc63Kv2.99